Generasi Boomer (lahir antara 1946–1964) tumbuh di era yang sangat berbeda dengan kondisi sosial dan emosional zaman sekarang. Banyak hal yang mereka anggap “normal” saat itu ternyata, jika ditelusuri lebih dalam, merupakan bentuk dari trauma yang belum sempat dikenali atau diproses. Berikut lima hal yang sering dianggap wajar oleh generasi Boomer, padahal sebenarnya merupakan tanda trauma:


1. Menahan Emosi dan Tidak Boleh Menangis

“Laki-laki tidak boleh menangis.”

Ungkapan ini terdengar akrab? Bagi banyak Boomer, menunjukkan emosi—terutama kesedihan atau kelemahan—dianggap tabu. Mereka dibesarkan untuk “kuat” dan “tegar”, bahkan dalam situasi paling menyakitkan sekalipun. Padahal, menahan emosi secara terus-menerus dapat menjadi mekanisme pertahanan akibat trauma, bukan tanda kekuatan.

Kenapa ini masalah?

Menekan emosi bisa berujung pada gangguan kecemasan, depresi, bahkan gangguan fisik kronis. Emosi yang tidak diproses akan tetap “tinggal” di tubuh dan pikiran.


2. Menerima Kekerasan Sebagai Pendidikan

“Dulu saya dipukul orang tua, dan lihat, saya jadi orang sukses.”

Kalimat ini sering digunakan untuk membenarkan kekerasan fisik atau verbal dalam pola asuh. Banyak Boomer melihat kekerasan sebagai bentuk kasih sayang atau cara mendisiplinkan anak. Padahal, kekerasan dalam bentuk apa pun bisa meninggalkan luka batin yang dalam, terutama ketika dilakukan oleh orang yang seharusnya memberikan rasa aman.

Apa dampaknya?

Anak-anak yang tumbuh dalam kekerasan sering kali mengalami kesulitan mempercayai orang lain, rendah diri, dan mengulangi pola yang sama ketika menjadi orang tua.


3. Workaholic dan Merasa Bersalah Saat Beristirahat

“Kalau nggak kerja keras, kamu pemalas.”

Bagi banyak Boomer, kerja keras bukan hanya soal etos kerja, tapi juga identitas. Beristirahat sering kali diasosiasikan dengan kemalasan. Mereka terbiasa mengorbankan waktu pribadi dan kesehatan demi pekerjaan, tanpa menyadari bahwa dorongan tersebut bisa berasal dari trauma masa lalu—mungkin karena pernah merasa tidak cukup atau takut ditinggalkan jika gagal.

Tanda trauma tersembunyi?

Perasaan tidak tenang saat tidak produktif bisa menjadi tanda bahwa seseorang belajar untuk hanya merasa “bernilai” ketika bekerja atau berkontribusi.


4. Menghindari Pembicaraan Tentang Kesehatan Mental

“Ngapain sih ke psikolog? Itu buat orang gila!”

Generasi Boomer cenderung menghindari diskusi tentang kesehatan mental. Mereka diajarkan untuk “menghadapi hidup” tanpa bantuan profesional, sering kali karena stigma dan kurangnya pemahaman.

Realitanya:

Menghindari bantuan profesional bukan tanda ketegaran, tapi bisa menjadi bentuk penyangkalan terhadap luka atau trauma yang tidak disadari.


5. Merasa Tidak Enak Menolak atau Menyuarakan Batasan

“Sudah, nurut aja, nanti juga terbiasa.”

Banyak Boomer dibesarkan dalam budaya yang menekankan kepatuhan dan sopan santun di atas segalanya. Menolak permintaan orang lain dianggap tidak sopan. Akibatnya, banyak dari mereka terbiasa mengabaikan kebutuhan sendiri demi orang lain—sebuah pola yang bisa tumbuh dari pengalaman masa kecil yang membuat mereka takut ditolak atau tidak diterima.

Ini bisa jadi:

Tanda dari people-pleasing yang tumbuh dari kebutuhan untuk merasa aman dan dicintai, walaupun harus mengorbankan diri sendiri.


Penutup

Bukan untuk menyalahkan generasi mana pun, artikel ini mengajak kita melihat lebih dalam ke pola-pola lama yang mungkin kita warisi. Trauma tidak selalu berbentuk luka yang kentara. Kadang, ia tersembunyi dalam hal-hal yang selama ini dianggap “biasa saja”.

Semakin kita menyadari pola-pola tersebut, semakin besar peluang kita untuk menyembuhkan diri—dan memutus siklusnya untuk generasi berikutnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *